Keluarga Berencana (KB), Aborsi, dan Inseminasi Buatan dalam Islam
Kehamilan merupakan proses reproduksi alamiah yang
terjadi dalam relasi hubungan suami istri, fase kehamilan adalah fase awal
dalam membina keluarga karena kelak akan melahirkan seorang anak yang menjadi
tanggung jawab sekaligus amanah bagi orang tua. Memiliki keturunan dewasa ini
bukanlah hal yang mudah, perlu kesepakatan bersama antara suami istri dan
kesanggupan menjalankan tanggung jawab yang cukup panjang.
Semakin berkembangnya zaman, maka semakin banyak pula hal yang berubah. Memiliki keturunan (anak) sering kali dianggap sebagai tujuan untama pernikahan. Jika memiliki banyak anak maka semakin baik dan kukuhlah masa depan keluarga. Lalu kemandulan yang diderita suami atau istri bisa dijadikan alasan untuk menikah lagi atau pun bercerai. Namun, dewasa ini pandangan mulai bergeser. Tidak memiliki anak bagi sebagian pasangan tidak menjadi masalah, lahirlah gerakan childfree yang menegasikan bahwa kehidupan rumah tangga tanpa adanya keturunan. Banyak cara lain yang bisa dilakukan seperti mengangkat anak saudara atau anak orang lain yang tidak dikenal sekali pun.
Namun pada kenyataannya, tidak semua pasangan
suami istri dapat melahirkan keturunan (anak), bahkan ada pula yang tidak ingin
memiliki anak karena alasan tertentu. Jadi, memiliki anak atau tidak bukan
merupakan kepastian dalam menjalani rumah tangga (relasi seksual). Dalam
keadaan normal, jika seseorang menginginkan anak maka lakukanlah hubungan seks
secara baik dan sehat. Namun, jika tidak menginginkannya maka gunakanlah alat
pencegah kehamilan (kontrasepsi).
Dalam
menentukan kehamilannya terdapat beberapa cara, yaitu:
1)
Keluarga Berencana (KB)
KB
dalam bahasa Inggris disebut dengan family planning atau birth
control, ada juga yang menyebutnya dengan planning parenthood. Sedangan
padanan Arabnya disebut تحديد النّسل atau juga
disebut تنظيم النّسل atau تقليل
النّسل .[1] Menurut Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran Bandung, pengertian KB secara umum adalah suatu usaha
yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa sehingga bagi ibu
maupun bayinya dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakat yang bersangkutan
tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran
tersebut. Sedangkan pengertian khususnya, KB dalam kehidupan sehari-hari
berkisar pada pencegahan kontrasepsi
atau pencegahan terjadinya pembuahan atau mencegah pertemuan antara sperma
laki-laki dengan sel telur perempuan. Menurut WHO (World Health
Organization), KB adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan
suami istri untuk mendapatkan hal objektif tertentu, menghindari kelahiran yang
tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval
diantara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga.[2]
Sedangkan
menurut Mahmud Syaltut, Keluarga Berencana (KB) adalah pengaturan dan
penjarangan kelahiran atau usaha mencegah kehamilan sementara atau bahkan untuk
selama-lamanya sehubungan dengan situasi dan kondisi tertentu, baik bagi
keluarga yang bersangkutan maupun untuk kepentingan masyarakat dan negara.[3]Jadi
sebenarnya berbicara mengenai KB bukan hanya menyangkut seorang individu
sendiri, melaikan menyangkut kemaslahatan orang banyak (masyarakat dan negara).
Dari
petunjuk-petunjuk global diperoleh pijakan-pijakan kukuh yang berkaitan dengan
kependudukan, sebagai contoh dapat dikemukakan dalam al-Qur’an yang menegaskan
bahwa alam raya berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan perhitungan yang
tepat.[4]
Ibadah yang dituntut pelaksanaannya pun berdasarkan keserasian dan perhitungan
, demikian pula halnya shalat,
zakat, puasa, dan haji. Hal-hal tersebut mengantar seorang Muslim untuk
menyadari perlunya perhitungan-perhitungan yang tepat serta keserasian dalam
kehidupannya, termasuk dalam kehidupan rumah tangga (jumlah keluarga) yang
harus diserasikan dengan kemampuan ekonominya.[5]
Nabi
pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا
الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإِنِّيْ مُبَاهٍ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَة[6]ِ
Artinya:
Kawinilah (perempuan yang berpotensi) melahirkan banyak anak dan yang merasa
karena aku akan berbangga dengan kamu dihadapan umat-umat lain pada hari
kiamat.
Kebanggaan
yang dimaksud Rasul saw itu tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari kualitas
yang dibanggakan karena kualitas inilah yang harus diutamakan. Jika banyak
tanpa kualitas, hal tersebut tidak mungkin akan membanggakan tetapi justru
sebaliknya. Kemajuan dan kesejahteraan bangsa-bangsa dewasa ini, tidak
ditentukan kuantitasnya, tetapi ditentukan
kualitasnya, dan alngkah banyaknya kelompok kecil yang berkualitas mampu
mengalahkan kelompok besar yang tidak
berkualitas.[7]
Atas dasar inilah pengaturan kelahiran dapat dibenarkan demi kualitas pendidikan
anak. Bahkan, Imam Ghazali membenarkan ‘azl (coitus intruptus)[8]
walaupun dengan alasan memelihara kecantikan perempuan.[9]
‘Azl
pernah dilakukan oleh sebagian
Sahabat Nabi yang menjimaki budak-budaknya tetapi mereka tidak menginginkan
kehamilan. Demikian pula terhadap istri mereka setelah mendapat izin
sebelumnya. Peristiwa ‘azl ini mereka ceritakan kepada Nabi seraya
mengharapkan petunjuk Nabi tentang hukumnya. Ternyata Nabi tidak menentukan
hukumnya, sementara wahyu yang masih turun juga tidak menentukan hukumnya. Mengenai ‘azl diungkapkan dalam sebuah
hadis:
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدٍ رَسُوْلُ اللّهِ- صَلَّ اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَ اللّهِ- صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – فَلَمْ يَنْهَنَا . وَفِي الرِّوَا يَةِ الْقَرْاَن يَنْزِلُ .
Artinya: Dari
sahabat Jabir berkata: “kami melakukan ‘azl pada masa Nabi Saw sedangkan
ketika itu al-Qur’an masih turun, kemudian berita peristiwa ini sampai kepada
Rasulullah dan beliau tidak melarang kami”.[10]
Dalam “riwayat lain disebutkan “dan ketika itu al-Qur’an masih turun”.[11]
Hadis
di atas merupakan hadits taqriri yang menunjukkan bahwa perbuatan ‘azl
yang dilakukan dalam rangka upaya menghindari kehamilan dapat dibenarkan
(tidak ada larangan). Jika ‘azl dilarang maka akan dijelaskan dalam
al-Qur’an yang masih turun pada waktu itu atau ditegaskan oleh Nabi sendiri.
Nabi hanya mengingatkan ‘azl hanya berupa ikhtiar manusia untuk
menghindari kehamilan, sedangkan kepastiannya ada di tangan Tuhan.[12]
2)
Aborsi (Menggugurkan Kandungan)
Aborsi
menurut etimologi berasal dari bahasa Inggris abortion: miscarriage, yang
berarti pengguguran kandungan. Abortus artinya keguguran. Aborsi menurut
terminologi adalah abortion: expultion of foetus from tlie womb during the
first 28 weeks of pregnance.[13]Aborsi
atau abortus adalah pengakhiran kehamilan baik belum cukup waktu, yaitu dibawah
usia 20 sampai 28 minggu, maupun belum cukup berat, yait di bawah 400 gr sampai
1000 gr. Ada juga yang mengambil sebagai batas untuk abortus berat anak antara
500 gr sampai 999 gr disebut partus immaturus.[14]
Bila
ditinjau dari segi linguistik dalam perspekstif Islam, kata “abortus” atau
“aborsi” dikenal dengan ungkapan al-Ijhadh atau Isqath al-Haml, yang
berarti menjauhkan, mencegah, penguguran janin dalam rahim [15]
Atau dengan kata lain didefinisikan sebagai keluarnya atau gugurnya kandungan
dari seorang ibu yang usia kandungannya belum mencapai 20 minggu.[16]
Sebelum
menjelaskan berbagai pandangan pakar hukum Islam, terlebih dahulu perlu digaris
bawahi bahwa seseorang yang hamil tanpa didahului oleh nikah yang sah, lalu
menggugurkan kandungannya, ia telah melakukan dosa berganda. Sekali karena
kehamilannya, dan di kali lain karena aborsi yang ia lakukan. Ketika para ulama
berbicara tentang aborsi, pembicaraan mereka pada hakikatnya tertuju kepada
perempuan-perempuan yang telah menikah secara sah dan bermaksud melakukan
aborsi karena satu dan lain sebab.[17]
Dalam
Islam, pembagian aborsi (janin dibawah usia 120 hari) dapat dilakukan atas
beberapa kategori yaitu:[18]
1)
Al-Isqath Al-Dharuri (Pengguran
Darurat), jika menurut perhitungan medis keselamatan ibu bisa terancam jika
tidak menggugurkan kandungannya, maka pengguguran (atas janin bersangkutan)
dibolehkan oleh agama;
2)
Al-Isqath Al-Ikhtyari yaitu
pengguguran kandungan bukan karena alasan medis, tetapi dikarenakan alasan realita
sosial kehidupan orang tuanya atau karena pertimbangan si bayi itu sendiri.
Fuqaha
kontemprer menggunakan kata al-ijhadh bentuk mashdar dari kata ajhada
yang berarti perempuan yang melahirkan secara paksa dalam keadaan belum
sempurna penciptaannya atau kelahiran janin karena dipaksa dan juga lahir
dengan sendirinya sebelum waktunya. Al-Ijhadh digunakan oleh para dokter
Arab untuk pengguguran kandungan yang masih muda. Sedangkan untuk kandungan
yang sudah tua digunakan istilah isqath al-haml.[19]
Beragam macam pendapat
ulama mengenai aborsi, diantaranya:
a)
Madzhab Hanafi, dikemukakan oleh Al-Hashkafi[20]
aborsi dibolehkan sebelum berlalu masa empat bulan dari usia kandungan baik
seizin suami maupun tidak, karena sebelum empat bulan roh belum lagi ditiupkan
ke rahim (belum disebut manusia hidup). Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa
pengguguran tersebut tidak mengakibatkan dosa. Hanya saja dosanya tidak seperti
dosa membunuh manusia. Yang menggugurkan tetap dosa apabila menggugurkan tanpa
alasan yang dibenarkan. Seperti alasan masih memiliki bayi yang membutuhkan ASI
dari si ibu, atau si ibu merasa sangat berat mengandung apabila melahirkan
secara caesar.[21]
Konsekuensi dari pengguguran kandungan dibawah usia empat bulan yaitu
dianggap bukan dosa besar dan tidak dapat dikenakan sanksi hukum sebagaimana
halnya janin yang sudah berumur empat bulan.[22]
Ketika Hashkafi di tanya: “Apakah pengguguran kandungan dibolehkan?”, ia
menjawab: “Ya, sepanjang belum terjadinya penciiptaan, dan itu (penciptaan)
hanya terjadi sesudah 120 hari kehamilan.” Inilah yang dijadikan alasan oleh
sebagian besar madzhab Hanafi dalam menyikapi aborsi;
b)
Madzhab Maliki, madzhab ini melarang aborsi bahkan melarang
dikeluarkannya sperma yang telah bertemu dengan ovum walaupun masanya kurang
dari empat puluh hari.[23]
Alasannya, suatu kehidupan sudah dimulai sejak pembuahan terjadi.[24]
c)
Madzhab Syafi’iyah, dalam madzhab ini terdapat beragam pendapat
dari para ulamanya. Pertama, Imam Ramli pendapatnya sama dengan madzhab
Hanafi (boleh aborsi sebelum usia 120 hari). Kedua, Imam Abu Hamid
Al-Ghazali mengharamkan aborsi seperti halnya Imam Malik, yakni mengharamkan
aborsi sejak terjadi pembuahan. Pengeluaran air mani di dalam rahim dan
penyatuannya dengan sel telur (ovum), menurutnya merupakan tahap pertama
kehidupan manusia. Karena itu, melenyapkannya merupakan satu pelanggaran pidana
(jinayah). Dosa atas upaya pelenyapan kandungan kandungan menjadi
semakin besar secara gradual pada masa-masa sesudahnya. Dengan kata lain,
semakin dekat dengan saat pemberian nyawa, semakin besar pula dosa pengguguran
kandungan itu. Argumen yang dikemukakan Al-Ghazali sangatlah menarik,
pelenyapan nuthfah yang telah bertemu telur (ovum), dianalogikan oleh
Al-Ghazali dengan sebuah akad atau perjanjian yang sudah disepakati. Transaksi
seperti ini tidak boleh dibatalkan, pembatalan berarti pelanggaran. Kasus ini
menurutnya tidak dapat disamakan dengan ‘azl, coitus interuptus.[25]
Pendapat ketiga, Ibnu Hajar membolehkannya selagi belum berusia 40 hari
sejak pembuahan.[26]
Keempat, Abu Bakar bin Abi Sa’id al-Furati, menurut Al-Karabisi menyetujui aborsi sepanjang
kandungan masih berupa nuthfah (air mani) atau alaqah (gumpalan
darah).[27]
d)
Madzhab Hanbali, mereka menilai mubah (boleh) menggugurkan
kandungan sebelum berlalu empat puluh hari, selama itu dilakukan dengan obat
yang dapat dibenarkan.[28]
e)
Madzhab Zhahiri, yang dikemukakan oleh Imam Ibn Hazm dalam kitabnya
Al-Muhalla mengemukakan bahwa aborsi dilarang sejak bertemunya sperma
dan ovum. Sejumlah ahli fiqh Syi’ah Imamiyah dan Abadhiyah pun sependapat
dengan pandangan ini.[29]
3)
Inseminasi Buatan
Kata
‘inseminasi’ berasal dari bahasa Inggris yakni insemination yang artinya
pembuahan atau penghamilan secara teknologi, bukan secara alamiah. Ada juga
yang berpendapat bahwa kata ‘inseminasi’ berasal dari bahasa Latin yaitu inseminatus
yang berarti pemasukan atau penyampaian.[30]
Sedangkan dalam istilah Arab, kata ‘inseminasi’ disebut dengan istilah at-talqih
yang berasal dari kata kerja laqqaha-yulaqqihu-talqihan yang berarti
mengawinkan atau mempertemukan (memadukan).[31]
Kata
talqih yang sama pengertiannya dengan inseminasi diambil oleh dokter
kandungan bangsa Arab, dalam upaya pembuahan terhadap wanita yang menginginkan
kehamilan, padahal istilah talqih ini berasal dari petani kurma yang
pekerjaannya menburkan serbuk bunga jantan terhadap bunga betina, agar pohon
kurmanya dapat berbuah.[32]
Mahmud
Syaltut menyebut inseminasi buatan dengan at-talqih al-sina’i sering
juga disebut dengan artificial insemination, dimana artificial berarti
buatan atau tiruan.
Hukum
inseminasi buatan dan bayi tabung adalah tergantung pada jenisnya, jika sperma
dan ovum itu berasal dari pasangan suami istri yang sah diperbolehkan.[33]
Hal tersebut dikenal dengan inseminasi homolog atau Artificial
Insemination Husband (AIH), kehalalan ini disebabkan inseminasi buatan dan
bayi tabung itu dilakukan karena suami istri mengalami gangguan kelamin atau
penyakit yang menyebabkan adanya kesukaran dalam memperoleh keturunan. Maka,
bayi tabung dianggap sebagai jalan darurah. Sesuai dengan sabda Nabi
saw:
لَاضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ
Artinya: Tidak boleh membahayakan (mencelakai, memudlaratkan) diri
sendiri dan orang lain. (HR. Ibnu Majah)[34]
Akan
tetapi jika inseminasi buatan dan bayi tabung itu berasal dari sperma donor
atau disimpan dalam rahim ibu pengganti yang sama sekali tidak memiliki
keterikatan akad nikah maka disebut inseminasi heterolog atau Artificial
Insemination Donor (AID), maka menurut Syaltut hukumnya haram seperti yang
banyak dilakukan oleh orang pada saat ini, kecuali pada hewan dan tumbuhan.[35]
Beliau
juga berpendapat bahwa inseminasi buatan dan bayi tabung (yang sperma/ ovum
atau pembuahannya di rahim donor) termasuk jarimah atau tindak pidana
yang lebih keji dari adopsi karena anak adopsi dapat diketahui bahwa dia anak
orang lain tetapi tidak berasal dari sperma/ovum/rahim orang lain (donor)
melainkan dari suami istri yang sah. Dia mengetahui bahwa anak tersebut tidak
memiliki hubungan nasab dengannya tetapi ia menyembunyikannya agar anak itu
tidak merasa asing. Dia menjadikan anak itu sebagai bagian dari keluarganya
padahal itu adalah sedusta-dustanya perkataan dan bagi anak itu berlaku
hukum-hukum terhadap anak-anaknya yang lain (tidak sebagai muhrim dan tidak
saling mewarisi).[36]
Mahmud
Syaltut juga menyamakan perbuatan ini dengan zina, anak yang dihasilkan sama
dengan anak zina. Keharaman ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yaitu:
...
عَنْ رُوَيْفِغِ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَامَ فِيْنَا خَطِيْبًا
قَالَ أَمَا إِنِّىِ لَا أَقُوْلُ لَكُمْ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ
صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ لَا يَحِلُّ
لِإِ مْرِئٍ يُؤْمِنُ بِا اللَّهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ
زَرْعَ غَيْرِهِ...
Artinya:
....Tidak halal bagi seorang yang beriman pada Allah Swt dan hari akhir
menyiramkan spermanya ke dalam orang lain... (HR. Abu Daud)[37]
[1] Alfauzi, “Keluarga Berencana Perspektif Islam dalam Bingkai
Ke-Indonesiaan, dalam jurnal Lentera, Vol. 3, No. 1, 1 Maret 2017, 3.
[2] Alfauzi, “Keluarga Berencana Perspektif
Islam dalam Bingkai Ke-Indonesiaan, 3.
[3] Mahmud
Syaltut, Alfatawa, (Mesir: Dar al-Qalam, t.th.t), 294-297.
[4] QS. Ar-Rahman [55]: 7-9 dan QS. Al-Mulk [67]:3
وَااسَّمَاءَ
رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَ . أَلَا تَطْغَوْ فِى الْمِيْزَانِ .
وَأَقِيْمُوْ الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُ الْمِيْزَانَ
Artinya: Dan
Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya
kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. Ar-Rahman [55]: 7-9)
اَلَّذِيْ
خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِى الْخَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ
تَفَوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُوْرٍ
Artinya: Yang
telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sesekali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang , adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS. Al-Mulk
[76]: 3)
[5] M. Quraish
Shihab, Perempuan, (Tanggerang: Lentera Hati, 2014), cet IX, 244-245.
[6] Abu Husain
Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz, Musnad Ahmad, “Bab Musnad
Anas bin Malik ra”, juz 27, nomor 13080 (dalam software maktabah syamilah)
[7] Hal ini sesuai
dengan QS. Al-Baqarah [2]: 249
... قَالَ الَّذِيْنَ
يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلَقُّوْ اللّهِ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ
فِئَةً كَثِيْرَةً بِإِذْنِ اللّهِ....
Artinya:
....Orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang
sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah”....
[8] Yakni jima’
terputus, yaitu melakukan ejakulasi (inzal al-mani) di luar vagina (faraj)
sehingga sperma tidak bertemu dengan indung telur istri. Dengan demikian
tidak mungkin terjadi kehamilan karena indung telur tidak dibuahi oleh sperma
suami.
[9] Shihab, Perempuan, 246.
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Jil, t.th.), Juz 4,
160. Lihat juga Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (t.t: Dar Tuq al-Najah,
t.th), juz 13, 171.
[11] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz
1, 620. Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz 4. 160. Imam Ahmad
bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal,
(t.t: Jam’iyah al-Islami, 2010), Juz 5, 1752.
[12] Alfauzi, “Keluarga
Berencana Perspektif Islam dalam Bingkai Ke-Indonesiaan”, 11.
[13] AS. Harley, AP
Cowie, Ac Ginson Oxford Advenced Teories Dictionary of Corent English, (New
York: Toronto Oxford University, 1987), 2.
[14] Fakultas
Kedokteran UNPAD, Obsetri Patologi, (Bandung: UNPAD, Elstrar, 1984),
7.
[15] Louis Makiuf, al-Munjid
fi al-Lughah wa al-I’lan, cet. 21, (Bayrut: Dar al-Masyariq, 1973), 108.
[16] Dewani Romli, Aborsi
dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Suatu Kajian Komparatif), dalam
jurnal Al-‘Adalah Vo. X, No. 2, 2 Juli 2011, 159
[17] Shihab, Perempuan,
258-259.
[18] Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Dialog Fiqh
Pemberdayaan), 153-154.
[19] Jad Al-Haq ali
Jad Al-Haq, ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibiyah an
al-Amradh an Nisa’iyah wa Shihah Al-Injabiyah, (Cairo: Universitas
Al-Azhar, 1997), 135.
[20] Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai
Pesantren), 273.
[21] Shihab, Perempuan,
259.
[22] Basim
Musallam, Sex and Society in Islam, (New York: Cambridge University
Press, 1983), 57-58.
[23] Shihab, Perempuan, 259.
[24] Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Dialog Fiqh
Pemberdayaan), 155.
[25] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin Juz II, 51.
[26] Al-Ghazali, Ihya Ulumal-Din Juz II, 157.
[27] Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai
Pesantren), 279.
[28] Shihab, Perempuan,
260.
[29] Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren.,
280-281.
[30] M. Ali Hasan, Masail
Fiqhiyah Haditsah, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 70.
[31] Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), cet IV, 1.
[32] Muhammad
Faisal Hamdani, ‘Hukum Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung’, dalam jurnal
Al-Ahkam Vol. 8, Nomor 1, Maret 2010, 108.
[33] Syaltut, al-Fatawa, 328.
[34] Jalal al-Din
al-Suyuthi, Al-Jami’ al-Shagir, juz II, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.t), 585.
[35] Al-Suyuthi,
Al-Jami’ al-Shagir Juz II , 328.
[36] Al-Suyuthi, Al-Jami’
al-Shagir Juz II., 328.
[37] Daud, Sunan
Abi Daud, juz II, 248.
Posting Komentar untuk "Keluarga Berencana (KB), Aborsi, dan Inseminasi Buatan dalam Islam"