Nikah Muda dan Dispensasi Nikah serta Implikasinya terhadap Ketahanan Rumah Tangga
Data Pernikahan Dini
Maraknya
pernikahan dini atau pun nikah muda di kalangan muda-mudi muslim Indonesia
dapat di latar belakangi oleh beberapa faktor, diantaranya: budaya yang telah
mengakar, tuntutan keluarga, minimnya ilmu, situasi mendesak, dan fenomena
atau trend. Hal-hal tersebut yang diyakini menyebabkan
maraknya nikah muda di kalangan masyarakat, tidak mengenal domisili di
perkotaan maupun pedesaan, status sosial, nikah muda telah banyak ditemui di berbagai
lini. Bahkan data BKKBN dan Kementerian PPPA menunjukkan bahwa dari tahun 2019
sampai akhir tahun 2021 kasus pernikahan dini terus naik sebanyak 30% setiap
tahunnya. Lebih lanjut menurut Badan Pusat Statistik, proporsi perempuan yang
hidup berstastus kawin atau hidup bersama sebelum umur 18 tahun pada tahun 2019
sampai 2021 ditempati oleh Provinsi Bangka Belitung 14,05%, Sumatera Selatan
sebanyak 12,24% dan Bengkulu 11,93%. Ditambah lagi oleh data dari Komnas
Perempuan sepanjang tahun 2021 terdapat 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan
dispensasi oleh Pengadilan.
Undang-Undang tentang Batas Usia Perkawinan
Meskipun
telah hadir UU Nomor 16 Tahun 2019 perubahan UU Nomor Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang merubah batas usia nikah yang sebelumnya bagi laki-laki 19
tahun dan 16 tahun bagi perempuan, dirubah menjadi 19 tahun bagi keduanya.
Tentunya, hal ini didasari dengan fakta-fakta bahwa kemampuan kedua pihak baik
dari segi fisik, psikis, sosial-ekonomi pasangan yang belum stabil menyebabkan
rawannya terjadi tidak harmonisnya keluarga, bahkan lebih lanjut terjadinya
perceraian.
Dispensasi Nikah
Dispensasi merupakan pengecualian dari beragamnya aturan karena adanya pertimbangan khusus mengenai aturan tertentu. Dispensasi nikah diajukan ketika kedua pihak yang belum cukup umur meminta izin ke pengadilan agar dapat menikah secara legal. Sebagai contoh, pada tahun 2016 lalu Muhammad Alvin Faiz yakni anak dari Alm. KH. Muhammad Arifin Ilham mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama Cibinong karena hendak menikahi seorang mualaf yakni Larissa Chou. Namun, bahtera rumah tangga mereka pun kandas pada tahun 2021. Inilah bukti bahwa perlu dasar dan kematangan yang kuat baik dari segi fisik, psikis-emosional,ekonomi bagi pasangan suami istri.
Baru-baru ini pula, pemberitaan dihebohkan oleh ratusan pelajar SMP dan SMA di Ponorogo mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama Ponorogo, pada tahun 2022 tercatat terdapat 191 kasus dan 266 kasus tahun 2021 permohonan. Hal ini cukup mencengangkan publik, padahal jika dilihat dari Rekap Data Perkara Peradilan Agama tahun 2022, permohonan dispensasi nikah terbanyak ditempati oleh PTA Surabaya yaitu 15.484 kasus, disusul oleh PTA Semarang dengan jumlah 12.83 kasus, dan peringkat ketiga yaitu PTA Bandung sebanyak 5.852 kasus permohonan dispensasi nikah.[1]
Bayangkan saja, jika hal ini terus meningkat bagaimana kualitas keluarga serta keturunan dari pasangan nikah muda?
Dampak
Pernikahan Anak dengan Permohonan Dispensasi Nikah
Pernikahan dini, atau pernikahan anak tidak hanya banyak menyebabkan banyak persoalan keutuhan rumah tangga, tetapi berpengaruh pula pada kesehatan reproduksi perempuan dan tumbuh kembang anak. Terus meningkatnya data Angka Kematian Ibu (AKI) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan yakni 6.856 jumlah AKI tahun 2021, meningkat dari sebelumnya 4.197 AKI tahun 2019.[2] Organ reproduksi anak perempuan yang belum cukup matang untuk mendukung pertumbuhan janin yang optimal karena memiliki ukuran pinggul kurang dari 10 cm yang membahayakan proses persalinan. Anak perempuan juga dapat terkena kanker mulut rahin (serviks) dan jalan lahir (parineum dan vagina) mengalami robek sehingga mengalami pendarahan hebat. Penyakit preeklamsia atau peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba yang bisa mengakibatkan komplikasi serius, kaki bengkak, kejang saat persalinan, menjadi beberapa masalah yang muncul pada perempuan yang melahirkan di usia di bawah 20 tahun.
Terdapat pula permasalahan gizi anak yaitu stunting, meskipun angkanya sedikit demi sedikit terus menurun, hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak adalah 37,3% (18,1% sangat pendek dan 19,2 % penek) setara dengan hampir 9 juta anak mengalami stunting di Indonesia. Prevalensi selanjutnya diperoleh hasil utama riskesdas tahun 2018 yaitu 30,8% (19,3% balita pendek dan 11,5% balita sangat pendek) hal ini menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia turun sebesar 6,4% selama 5 tahun.[3] Minimnya pengetahuan orang tua muda menjadi salah satu alasan hal ini terjadi.
Implikasi
Dispensasi Nikah terhadap Ketahanan Rumah Tangga
Implikasi dispensasi nikah terhadap ketahanan rumah tangga sangatlah riskan, meskipun tidak semua mengalami persoalan ketahanan rumah tangga, namun data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan pengajuan perceraian oleh para pelaku nikah muda mencapai 71% pada tahun 2020 hal ini disebabkan oleh kedua belah pihak yang belum pandai dalam mengontrol emosi dan pemikiran yang cukup matang dalam menghadapi konflik. Pernikahan dini juga sangat rentan masalah eksternal karena adanya pihak ketiga, KDRT bahkan berakhir kasus pidana.[4]
Para remaja minimal harus dibekali dengan empat kematangan jika akan membina rumah tangga yaitu spiritual, intelektual, emosional, dan finansial. Keempat hal itu menjadi fondasi ketika akan membina rumah tangga. Pengetahuan reproduksi juga tak kalah penting, banyaknya kasus hamil di luar nikah di kalangan remaja atau anak di bawah umur mengindikasikan bahwa pendidikan seks dan reproduksi masih dianggap tabu bukan sebagai pengetahuan.
Perkembangan otak pada usia remaja pula masih berkembang, bagian otak yang berfungsi dalam pengambilan keputusan belum berkembang sempurna. Bagian itu adalah lobus frontal (pre frontal cortex) yang mana terletak di belakang dahi, ia juga berpengaruh pada pengaturan perencanaan, spontanitas, konsekuensi, pemecahan masalah, empati, serta perilaku sosial dan seksual. Hal ini dikarenakan perkembangan otak belangsung dari belakang ke depan, maka lobus frontal menjadi bagian otak yang terakhir berkembang sempurna yaitu saat seseorang berusia 25 tahun. Perkembangan lobus frontal pada usia remaja juga kalah cepat dengan system limbic, yaitu bagian otak yang mengatur emosi, motivasi, dan perilaku. Jika diibaratkan sebagai manusia, system limbic memiliki karakter emosional dan berani mengambil resiko. Sementara lobus frontal ibarat orang yang tenang, logis, dan fokus.[5] Itulah mengapa sebabnya perilaku remaja cenderung impulsif dan suka hal menantang. Hal ini pula yang menyebabkan pernikahan dini sangat rawan konflik.
Perlu
penanganan dan kerja sama dari semua pihak dalam menanggapi fenomena nikah muda
ini. Harus dilakukannya sosialisasi secara massif terhadap masyarakat akan
resiko nikah muda, menghadirkan tokoh public maupun tokoh agama atau influencer
yang gencar memberikan informasi akan resiko nikah muda, serta tak hentinya
tanamkan literasi sedini mungkin akan pendidikan, pengawasan orang tua akan
pergaulan anak, dan kesadaran masyarakat akan resiko pernikahan dini.
Azmi Ro'yal Aeni
[1]
Pusat Data Perkara, Rekap Data Jenis Perkara Dispensasi Kawin Peradilan
Agama Tahun 2022, diakses Selasa, 17 Januari 2023, pukul 24:00
[2]
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Data Angka Kematian Ibu, dikases
Senin, 16 Januari 2023, pukul 23:00
[3]
Rita Kirana, Aprianti, dkk, Pengaruh Media Promosi Kesehatan terhadap
Perilaku Ibu dalam Pencegahan Stunting di Masa Pandemi Covid-19 (Pada Anak
Sekolah TK Kuncup Harapan Banjarbaru), Vol.2 Nomor , Februari 2022.
[4]
Shania Yesenia, Cut Vithia Muli, dkk, Dampak Pernikahan Dini Terhadap
Meningkatnya Angka Perceraian pada Masa Pandemi di Sumatera Utara, Vol.7 Nomor 2, Desember 2022.
[5] Devita
Widjaja dan Menur Adhiyasti, Pahami Remaja, Ketahui Perkembangan Otaknya, diakases
17 Januari 2023 pukul 1:00
Posting Komentar untuk "Nikah Muda dan Dispensasi Nikah serta Implikasinya terhadap Ketahanan Rumah Tangga"